welcome in !!


tidak ada salahnya beriseng-iseng upload hasil catatan kuliah ku yang sudah dicetak di HSC angkatan buat di upload di sini.. sebagai back up kalo ada apa2 sama dokumen ku & akan lebih bermanfaat buat temen2 lain yang butuh. dari pada cuma teronggok di dokumen saja lebih baik terekspos & bisa diakses orang kan? toh gak rugi diriku eheheeee.. viva medika !

Minggu, 27 Januari 2013

Cardiology Emergency


Cardiology Emergency
dr. Nahar Taufiq, Sp.JP
oleh : yuan’s !nk

Cardiac emergency adalah kondisi emergensi yang muncul akibat adanya masalah pada jantung. Ada banyak masalah jantung yang menimbulkan kondisi emergensi seperti : acute coronary syndrome, cardiac arrest, cardiogenic shock, acute pulmonary edema, cardiac dysrhyrmias, aortic disection, acute valve insuffisiency, crisis hypertension, trauma, dsb. Kondisi emergensi yang timbul bisa merupakan akibat langsung masalah jantung seperti gagal sirkulasi dan bisa juga merupakan akibat tidak langsung seperti munculnya edema paru akut yang menimbulkan gagal ventilasi.
Akut pulmonary edema sendiri bisa disebabkan oleh masalah kardiak maupun nonkardiak. Untuk edema paru akut yang disebabkan oleh masalah jantung, lebih sering dikenal sebagai acute on chronic heart failure. Edema paru kardiak terjadi sebagai efek dari masalah utama pada jantung. Sebagai contoh adanya mitral stenosis mambuat darah atrium sinistra susah masuk ke ventrikel sinistra. Dengan begitu tekanan intra-vena pulmonalis meningkat sehingga plasma darah bocor pada kapiler paru dan terjadilah edema paru akut. Kondisi ini hanya terjadi jika masalah jantungnya sudah ada pada level yang tidak biasa (sudah masuk chronic heart failure).
Kelas2 gagal jantung menurut NYHA (New York Heart Association) ada 4 kelas :
·         Kelas I: tidak ada pembatasan kegiatan, tidak ada gejala dari aktivitas biasa.
·         Kelas II: pembatasan kegiatan sedikit/ringan; pasien nyaman pada saat istirahat atau dengan tenaga ringan.
·         Kelas III: pembatasan aktivitas apapun, pasien nyaman hanya pada istirahat.
·         Kelas IV: setiap aktivitas fisik membawa pada ketidaknyamanan dan gejala terjadi saat istirahat.
Setiap kali ada perburukan, kondisi gagal jantung dari kelas berapapun dapat langsung jatuh ke kelas 4. Untuk pemeriksaannya tetap lakukan pengecekan kondisi kongesti/edema paru juga. Jika kejadian edema paru akut ini disertai dengan tanda klinis berupa tekanan darah sistolik <90 mmHg dan sudah diterapi dengan agen inotropik >30 menit tapi tekanan darah sistolknya tetap <90 mmHg, maka disebutnya syok kardiogenik.
Dari banyak kasus di emergensi, kasus terbanyak yang terjadi adalah acute coronary syndrome/ACS (>50%) baru disusul oleh heart acute on chronic heart failure/heart failure cardiogenik dan cardiac disrythmia/aritmia. Tapi kondisi yang paling gawat adalah cardiac arrest yang harus segera ditolong dalam hitungan detik sampai menit dan semua kondisi kegawatan jantung akan berakhir dengan cardiac arrest ini.
Akut koroner sindrom sudah pernah dipelajari di blok 3.2., jadi sekarang tinggal review dikit aja ya. ACS ditandai dengan gejala berupa chest pain yang khas. Chest pain/angina pectoris sendiri bisa dibedakan menjadi stable angina pectoris dan unstable angina pectoris.
·         Stable angina pectoris à rasa nyeri di dada yang muncul setelah beraktifitas berat dan menghilang setelah istirahat. Angina ini tidak termasuk ACS
·         Unstable angina pectoris à rasa nyeri dada khas yang muncul setelah berakifitas dan tidak membaik dengan istirahat.
Rasa nyeri dada khas pada ACS adalah rasa nyeri yang sangat seperti ditindih, terbakar, kram, perih dan menyebar ke rahang, leher, punggung serta lengan kiri dan disertai keluhan sistemik eg. vomit, keringat dingin/diaphoresis à benar-benar keringat dingin (bukan merasa dingin) dan pasien benar-benar sampai ganti baju.

Selain unstable angina, spectrum ACS juga memuat kondisi myocard infark baik STEMI maupun NSTEMI.
·         STEMI (ST Elevation Myocard Infarct) à nyeri dada khas >20 menit disertai dengan peningkatan cardiac enzyme & adanya gambaran ST elevasi pada EKG
·         NSTEMI (Non-ST Elevation Myocard Infarct) à nyeri dada khas >20 menit disertai dengan peningkatan cardiac enzyme dan tanpa gambaran ST elevasi pada EKG
Contoh kasus ni. Seorang laki-laki 55 tahun datang ke emergensi dengan keluhan sakit dada. Pasien tersebut memiliki penyakit diabetes mellitus dan kebiasaan merokok. Apa yang harus dilakukan dokter?
à anamnesis cepat : onset, tipe, presipitasi pain dll. Cari tahu sakit dada kardiovaskuler atau nonkardiovaskuler. Kalau tipe kardiovaskuler cari tahu cardiac (eg. angina) atau vaskuler (eg. aortic dissetion). Misalkan pasien menderita chest pain tipe angina. Dokter harus berpikir angina yang mana? stabil ato tidak stabil? Kalau angina tidak stabil, tipe yang khas infark ato sekadar tidak stabil saja. Kalau ternyata infark, apakah STEMI atau NSTEMI. Dan proses anamnesis ini harus sudah tuntas dalam 10 menit.
à pemeriksaan vital sign langsung lakukan EKG. EKG bukan alat diagnostic untuk STEMI tapi perlu dilakukan EKG serial atau monitoring segmen ST pada pasien dengan sangkaan STEMI. EKG ini sangat membantu sebagai alat deteksi dini dan harus diterima dokter dalam 10 menit kedatangan pasien STEMI.
Misalkan pada pasien tadi didapati STEMI daerah anterior, BP 110/70 mmHg, nadi 100x/menit, RR 18x/menit, dan hasil pemeriksaan fisik lainnya normal. Saturasi oksigen dari pulse oximertry adalah 96%. Trs apa yang dilakukan berikutnya?
à langsung lakukan tindakan (MONA_CO = morfin, oksigen, nitrat/nitrogliserin, aspirin, clopidogrel) baru dilakukan pemeriksaan laboratorium/lainnya. Tidak perlu menunggu hasil lab karena sudah cukup jelas dari gejala & EKG.
1. Berikan oksigen kalau saturasi <94% atau pada saturasi >94% dengan distress respirasi (takipneu dsb)
2. aspirin (antiplatelet) & clopidogrel
3. nitrogliserin. Perhatikan tekanan darah sistolik harus >90mmHg, tidak ada bradikardi, dan tidak mengkonsumsi sidenafil dalam 24 jam terakhir karena akan terjadi potensiasi terhadap nitrat yang menyebabkan takanan darah menjadi drop.
4. kalo masih chest pain baru berikan morfin.
à ambil darah untuk dilakukan cek lab.
Pilihan obat untuk terapinya, berbeda antara kelompok STEMI dan NSTEMI sebab kondisi patofisiologi yang terjadi juga berbeda.
·         STEMI à terjadi clot thrombus yang menutup vasa coronaria secara total (total oklusi) di a. koroner à tidak ada aliran darah à iskemi à  infark
Pikirkan cara untuk melakukan reperfusi untuk membuka clot thrombus penyumbat tersebut. Cara reperfusi ada 2 macam yaitu :
-          menggunakan agen trombolitik/fibrinolitik
istilah yang tepat adalah fibrinolitik sebab agen tersebut memecah ikatan benang-benang fibrin yang mengikat thrombus. Setalah benang fibrin terurai, thrombus-trombus kecil tetap ada tapi akan terbawa mengikuti arus aliran darah. Syarat pemberian agen fibrinolitik ini adalah tidak ada kontraindikasi sebab fibrinolitik mengganggu cascade koagulasi yang bisa mengakibatkan perdarahan tidak berhenti.
-          secara mekanik dengan CABG (coronary artery bypass graft) atau dengan stent
·         NSTEMI à cek cardiac marker untuk membedakan UAP atau NSTEMI. Diagnosisnya kemudian menjadi unstable angina pectoris dengan diferensial diagnosisnya NSTEMI
-          Manajemen awalnya sama seperti STEMI mulai dari oksigenasi dan seterusnya. Yang berbeda adalah agen farmakologis yang dipakai. Pada NSTEMI à oklusi a. coronaria terjadi secara parsial sehingga masih ada aliran darah ke distal. Jadi tidak perlu dilakukan pemberian fibrinolitik sebab risikonya terlalu besar. Yang diberikan adakag agen antikoagulan untuk mencegak koagulasi berlanjut. Agen antikoagulan yang bisa dipakai adalah heparin
Hampir semua kegawatan kardiovasa kalau tidak ditangani sempurna, pasien bisa jatuh ke kondisi cardiac arrest.
Kasus 2.
Pasien nyeri dada khas infark, BP 110/70 mmHg, nadi 100x/menit, RR 18x/menit, pulse oximetry 96%, EKG ada ST elevasi. Sudah dilakukan terapi awal dengan pemberian fibrinolitik tapi justru terjadi kejang tonik klonik terus pasien diams aja. Apa yang harus dilakukan dokter?
Guideline AHA 2005 à Airway Breathing Circulation (ABC)
Guideline AHA 2010 à Circulation Airway Breathing (CAB)
1.      cek respon pasien sambil menilai pernafasan apakah ada atau tidak. Menurut guideline sekarang, tidak perlu cek airway (head tilt chin lift, look listen feel) tapi cukup dinilai ada atau tidak nafasnya, lalu semisal ada nafas, normal atau tidak nafas tersebut. Jika tampak abnormal (agonal, gasping, atau beda dengan pernafasan normal) langsung aktifkan emergency system yang ada dengan memanggil bantuan. Penolong tidak mugkin bekerja sendiri. Minta orang lain mengambilkan AED (automated electrical device)/defibrilator. AED biasanya ditempel di dinding ditutup kaca dan ditandai dengan warna oranye. Tapi di Indonesia belum ada fasilitas seperti ini. Baru ada di Bandara Internasional Sukarno-Hatta sama di Ngurah Rai-Bali
2.      cek pulse dalam waktu <10 detik. Jika penolong adalah orang awam dan kurang terlatih, tidak perlu dilakukan pengecekan pulse ini sebab memperlama penundaan CPR. Tapi untuk tenaga medis dan terlatih, harus bisa melakukan pengecekan nadi ini. Jika ditemukan nadi negative, langsung lakukan CPR 30x terus rescue breath 2x. siklus ini diulang sampai AED/defibrillator/alat yang bisa menganalisa ritme datang. Kalau masih lama datangnya, teruskan CPR-rescue breath 30:2 sampe 5 siklus baru diteruskan recek pulse. Kalau masih negative, ulangi siklus lagi sampai pengecekan nadi digantikan oleh alat analisa ritme.
Untuk lebih mudahnya, ikuti saja algoritma berikut.
 
3.      defibrillator/AED datang. Buka. Ambil paddle nya. Buka plastic penutupnya. Tempelkan 1 paddle di apex dan 1 lainnya kira-kira di sternum lateral kanan atas (white to the right, red to the ribs). Waktu menempelkan ini, CPR tetep dilakukan. Nyalakan AED dengan menekan tombol TURN ON kemudian mesinnya akan mengatakan “Stop CPR”. “Don’t touch the patient”. AED akan manganalisa irama apakah shockable atau tidak. Kalau tidak, AED akan mengatakan untuk melanjutkan CPR à “start CPR”. Kalau shockable, AED mengatakan “give shock”. Tekan tombol pada paddle untuk mengeluarkan energy.
·         Irama shockable : ventrikel fibrilasi (VF), ventrikel takikardi tanpa nadi (pulseless VT)
·         Irama unshockable : asistol, pulseless electrical activity (PEA)
Jika yang datang adalah defibrillator, lakukan analisa dengan defibrilator. Pasang lead defib saat CPR masih dilakukan. Turn On monitor. Setelah 5 siklus CPR, stop CPR, baca irama EKG di monitor secara manual. Keterampilan dokter untuk membaca EKG diperlukan di sini. Tentukan apakah irama shockable atau tidak. Jika tidak, lakukan CPR. Jika shockable, charge kira-kira 3 menit. Selama charging ini, pasien tetap diberikan CPR. Untuk energy yang dihantarkan, pilih 360 Joule jika monofasik atau 200 Joule kalau bifasik. Setelah charging selesai, stop CPR. Katakan “I’m clear” dan pastikan diri kita tidak menyentuk pasien. Lalu “you clear” pastikan tudak ada orang lain yang menyentuk pasien. Terakhir katakana “everybody clear” dan pastikan sekali lagi tidak ada samasekali yang menyentuk pasien. Lalu pencet tombol shock. Setelah itu, lanjutkan CPR. Jadi jangan hilangkan kesempatan pasien untuk mendapatkan kompresi sirkulasi.
Ingat !! yang langsung diberikan shock adalah irama VT pulseless. Jadi, semisal irama VT ditemukan, cek dulu apakah ada pulse atau tidak. Kalau ada, tinggal CPR saja tidak perlu shock.
Jadi, tujuan utama resusitasi adalah :
1.      return of spontaneous circulation (ROSC)
2.      oplimalkan sirkulasi
3.      cegah agar tidak kembali ke kardiak arrest
            

 alhamdulillah 
fin 11 10 18 18 05

Tidak ada komentar:

Posting Komentar